“Dan
taatilah Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (Surah Al-Anfal ayat
46)
Assalammu’alaikum…wrt,
Alhamdulillah hari ini Jumaat penghulu segala hari 03/08/2012M bersamaan
14/09/1433H telah masuk sessi pertengahan bulan Ramadhan yang mana sessi Pengampunan
oleh Allah s.w.t. untuk hamba-hambaNya yang berpuasa dengan hati yang ikhlas
dan tawadhuk. Semoga hamba dan saudara/i sekalian sama-sama mendapat
pengampunan-Nya dan rahmat-Nya, insyaAllah.
Ayahnda
Ibrahim a.s orang yang berhati besar.
Ayahnda Ibrahim a.s.
adalah pelita penerang para Nabi Allah s.w.t. dan orang-orang yang beriman pada
setiap masa. Bahkan ia adalah contoh yang baik dan luhur yang telah dijadikan
Allah Ta’ala untuk seluruh umat manusia.
Dan apabila kita ingin
memberikan sifat bagi Ayahnda Ibrahim a.s., kita tidak mendapatkan suatu
ungkapan yang lebih mendalam dan lebih utama daripada mensifatkannya dengan
sifat seorang yang berhati besar. Hati yang menjadi tanda di dalam kelembutan,
kemurahan, kasih sayang, dan keselamatan dari kedengkian dan sifat-sifat yang
tercela.
Dan bagaimana Ayahnda
Ibrahim a.s. tidak akan membawa hati yang seperti ini, sedang ia adalah orang
yang menyeru kepada keselamatan hati, orang yang berbicara tentang tempat
kembali manusia pada hari kiamat;
“(Yaitu)
di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Surah As-Syura
ayat 88 dan 89)
Suatu perkataan indah
yang ketinggiannya tidak dapat dicapai oleh pandangan filsafat apapun dan yang
tidak dapat dikalahkan oleh aliran akhlak apapun. Kerana dia telah memberikan
kepada umat manusia batasan tujuan yang harus dijadikan pusat perhatian mereka
dalam mencapai ketinggian kemanusiaan dan kebahagiaan yang abadi, yaitu memperhatikan keselamatan hati mereka dan
mensucikannya dari kejahatan-kejahatan dan dosa-dosa.
Sesungguhnya letak
keagungan Ayahnda Ibrahim a.s. adalah hatinya
yang telah melapangkan seluruh manusia. Kerana hatinya itu adalah penjagaan
bagi dirinya dalam rangka membahagiakan umat manusia, baik mereka yang asal
keturunannya lebih dekat kepadanya mahupun mereka yang tidak mempunyai hubungan
kerabat kepadanya.
Kerana ia sangat ingin
menyampaikan kebaikan kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari beribadat
kepada berhala-berhala yang tersebar di kalangan mereka, yaitu ibadah yang
telah membelengu akal fikiran dan yang telah menjadikan mereka mangsa bagi khurafat-khurafat (cerita-cerita
bohong), yaitu ibadat yang telah memperkosa mereka dengan beban-beban yang
merugikan dan memberati persiapan-persiapan mereka, seperti penyajian
kurban-kurban kepadanya berupa makanan, minuman dan sembelihan-sembelihan yang
hilang begitu saja tanpa balasan, yaitu ibadah yang dimurkai oleh Allah Yang
Maha Esa lagi Maha Pemberi balasan, kerana penyimpangan dari beribadah
kepada-Nya menjadi beribadah kepada benda-benda mati yang tidak sadar dan tidak
mendengar.
Kemudian Ayahnda
Ibrahim a.s. yang berhati besar ini tidak tahan melihat orang tuanya yang
bangga di dalam kesesatan dan tenggelam di dalam beribadat kepada
berhala-berhala. Maka ia berusaha memberikan petunjuk dengan akal dan logika.
Akan tetapi, orang tua yang akalnya telah membatu ini menyambut Ibrahim a.s.
dengan ancaman berupa rajam. Maka menjawablah anak ini, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun
bagimu kepada Tuhanku.”
Sesungguhnya permohonan
ampun Ayahnda Ibrahim a.s. untuk orang tuanya, setelah mendapatkan ancaman
darinya, menunjukkan pada keikhlasannya kepada Allah Ta’ala, sebagaimana
permohonan ampun itu telah keluar dari hati yang besar mengalir dengan
kecintaan, belas kasihan dan kasih sayang.
Dan hati Ayahnda
Ibrahim a.s. yang besar itupun telah terarah pula kepada kaumnya. Maka ia
berdoa kepada Allah Ta’ala agar Dia menjauhkan mereka daripada beribadat kepada
berhala-berhala.
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah),
negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah
berhala-berhala.” (Surah Ibrahim ayat 35)
Dan hati Ayahnda
Ibrahim a.s. yang besar itu, juga berbelas kasihan kepada anak cucunya yang
telah mengikatnya antara mereka dengan ikatan darah. Ia telah mencintai mereka
dengan memberikan ketinggian dan kebaikan, dan ia mencintai mereka dengan suatu
kecintaan yang menguasai segenap
perasaannya. Sehingga ketika Allah Ta’ala memberikan imamah (kepemimpinan) kepadanya, ia tidak merasa puas untuk merasakan
kelebihan ini dengan sendirinya. Maka ia berdoa kepada Tuhannya agar Dia
melimpahkan nikmat itu kepada anak cucunya juga.
Allah s.w.t. berfirman,
“Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku.” (Surah al-Baqarah ayat
124)
Dan hati Ayahnda
Ibrahim a.s. yang besar itu mendorongnya untuk memohon kepada Allah s.w.t. agar
menjadikannya orang yang tetap
mendirikan solat, yang mana itu adalah perkara yang paling penting untuk
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Kemudian ia tidak merasa cukup doa itu hanya
untuk dirinya sendiri, tapi ia menyertakan anak cucunya di dalam doa itu,
“Ya
Tuhanku, jadikan aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan solat,
ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Surah Ibrahim ayat
40)
Kemudian hati Ayahnda
Ibrahim a.s. yang besar itu merasa kasihan kepada kaumnya, walaupun ia mendapat
penyiksaan dan pengusiran dari mereka. Maka ia tidak memohon kehancuran bagi
orang yang mendurhakainya dan tidak pula mensegerakan azab bagi mereka, akan
tetapi ia memohonkan ampunan Allah
Ta’ala dan rahmat-Nya untuk mereka,
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada
mereka, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah Ibrahim ayat
36)
Dan hati Ayahnda
Ibrahim a.s. yang besar itu tidak tega bila azab akan menimpa seseorang, walaupun
orang itu memang berhak menerimanya. Maka ketika para malaikat datang untuk
menurunkan azab kepada kaum Luth, bergeraklah perasaan hatinya. Lalu ia bersoal
jawab dengan Tuhannya, dengan harapan semoga Dia mengulurkan belas kasihan-Nya
kepada orang-orang yang durhaka itu. Allah s.w.t. berfirman,
“Diapun
bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya
Ibrahim itu benar-benar seorang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada
Allah.” (Surah Huud ayat 74 dan 75)
Soal jawab ini telah
diisyaratkan oleh Al-Quran, dan perinciannya terdapat di dalam Safru at takwin. Allah s.w.t. berfirman,
“Dan
sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim
dengan membawa khabar gembira, mereka mengucapkan, ‘Selamat”. Ibrahim telah
menjawab, ‘Selamatlah!’, maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging
anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak
menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.
Malaikat itu berkata, ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah
(malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.’ Dan isterinya berdiri
(disampingnya) lalu dia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira
tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya’akub. Isterinya
berkata, ‘Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku
adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua
pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.’ Para malaikat itu
berkata, ‘Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Alah? (Itu adalah) rahmat
Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya
Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.’ Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim
dan berita gembira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan
(malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu
benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.
Hai Ibrahim, tinggalkan soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan
Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat
ditolak.” (Surah Huud ayat 69 hingga 76)
Pelajaran
dalam KEBERANIAN
Sesungguhnya di dalam
kehidupan Ayahnda Ibrahim a.s. terdapat pelajaran tentang keberanian dan berani mati di jalan dasar dan aqidah. Maka Ayahnda
Ibrahim a.s. berdiri langsung di hadapan kaumnya yang telah dirasuki ibadat
terhadap berhala-berhala untuk menyalahkan keyakinan-keyakinan mereka dan
menyeru mereka dengan argumentasi dan keterangan untuk meninggalkan ibadat itu.
Akan tetapi, alangkah
sulitnya seruan itu. Kerana, tidak ada yang lebih sulit bagi manusia daripada
merubah keyakinan-keyakinannya yang terwarisi sehingga menempati tempat
pensucian dan pemuliaan di dalam dirinya, dan tidak ada yang lebih banyak
membangkitkan amarahnya daripada menyalahkan keyakinan-keyakinannya. Oleh
kerana itu, kepentingan Ayahnda Ibrahim a.s. berada dalam kesulitan yang
memerlukan keberanian dan kesabaran untuk menerima penyiksaan dari kaumnya yang
untuk pertama kalinya telah dilancarkan oleh orang tuanya yang berkata
kepadanya,
“Jika
kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu ku rajam, dan tinggalkanlah aku buat
waktu yang lama.” (Surah Maryam ayat 46)
Ayahnda Ibrahim a.s.
belum mendapatkan dari kaumnya telinga-telinga yang mau mendengar seruannya,
bahkan ia mendapat penolakan dan permusuhan serta pengusiran. Keadaan yang
seperti itu tidaklah mematahkan semangatnya dan tidak pula kelemahan memasuki
hatinya, bahkan ia memperlihatkan kepada kaumnya senjata yang lebih ampuh dan
lebih kuat, yakni senjata yang dapat
menghancurkan keyakinan-keyakinan mereka dan meruntuhkan bangunan-bangunan suci
mereka.
Sesungguhnya senjata
itu untuk menghancurkan kebatilan dengan tangan yang lebih besar pengaruhnya
daripada menghancurkan kebatilan dengan perkataan yang tidak mendapatkan
manfaat dari mereka. Senjata itu adalah senjata
praktis yang digunakan Ayahnda Ibrahim a.s. untuk menghancurkan
berhala-berhala mereka.
Hasil dari pekerjaan
ini tampak jelas bagi mata, baik itu kematiannya yang menyakinkan, maupun
pemberian kepuasan kepada kaumnya dengan meninggalkan ibadat kepada
berhala-berhala.
Ini adalah cara praktis
yang digunakan Ayahnda Ibrahim a.s. untuk memperlihatkan kepada kaumnya bahwa
sembahan-sembahan mereka itu tidak dapat menjaga dirinya sendiri, maka
bagaimana ia dapat menjaga atau memberikan kebaikan dan kejahatan kepada mereka
sebagaimana yang mereka yakini!!
Satu-satunya yang ingin
digunakan oelh Ayahnda Ibrahim a.s. untuk memperlihatkan kepada kaumnya bahwa
sembahan-sembahan mereka itu tidak
mendengar, tidak melihat dan tidak berbicara. Maka ketika Ayahnda Ibrahim
a.s. ditanya tentang orang yang merosak berhala-berhala itu, ia menjawab,
“Sebenarnya
patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala
itu, jika mereka dapat berbicara.” (Surah Al-Anbiya’ ayat
63)
Perbuatan ini telah
meledakkan amarah kaumnya. Maka mereka mengadili dan menjatuhkan hukuman mati
kepadanya dengan dibakar. Akan tetapi Ayahnda Ibrahim a.s. tidak gentar dan
goyah sehingga kehilangan kesadarannya, bahkan ia tetap berdiri tegak di
hadapan orang banyak dengan tenang menuju tempat kembalinya dan penuh
kepercayaan kepada Allah Rabbul’alamin.
Dan
ia adalah ajaran yang diberikan kepada para penyeru perbaikan, yang menguatkan
jiwa mereka, dan yang melebur tempat keraguan, ketakutan dan kelemahan yang ada
pada mereka untuk merubahnya menjadi jiwa yang lebih BERANI dan lebih KUAT.
Wallahu’alam.
Derang, Kedah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan